Sunday 12 July 2009

Embun

Setetes embun bening itu kini buram di mataku meski setetes air mata pun tak lagi menetes karena rasa memaksa pamit. Entah dia pergi ke mana? Entah kapan kembali. Berkitar-kitar mencari warna, dan bertanya pada tiap orang apa itu hitam, apa itu putih? Bagaimana wujudnya? Di manakah bisa kutemukan? Tapi yang ada hanya abu-abu. Aku pun abu-abu. Dan kini perlu waktu bersedu-sedan. Ingin menikmati bulan kematian, tak lagi memusingkan apa itu jawaban dan ujian. Dan mengkotak-kotakkan hitam putih. Karena akulah hitam putih itu, yang kini abu-abu adanya. Biar dia berjalan, menemukan esensi cinta dalam dirinya sendiri. Biar dia bisa berdiri dan tak lagi terseok-seok. Dan aku sedang berjalan, tak mau berlari karena ingin melihat sekelilingku dan memungut makna dari ilalang senja yang membawaku pada kesadaran. Aku sedang mencambuk diriku untuk sebuah janji bernama transformasi total. Untuk sebuah kelahiran.


Pagi menyapa dalam dingin yang menembus tulang. Lalu saya terbangun, lantaran selimut yang semalam membalut rapat tubuh saya sudah terlepas, jauh dari ranjang. Saya tak bisa tidur lagi padahal masih ngantuk. Jam berapa ini??? Saya ambil handphone di samping lengan saya--ada satu pesan yang dikirimkan pagi-pagi.


*Setetes embun bening jatuh
Meningkahi bumi yang lelap
Sejuk menggeliat
Hangat mencair
Membuat raga yang kaku menggelora...
Kehidupan terbuka manakala mata terjaga
Warna berkitar-kitar
Hawa bersedu-sedan...

Dan saya dikuatkan oleh setetes embun bening yang jatuh pagi itu. Dengan kasih yang sedikit menghangatkan tubuh dari dingin yang menusuk. Dia menunjukkan jingga, yang menggelora pagi itu.

(*Kutipan puisi Johanes B. K. Soro)

--> Untuk Ka Inyo, terima kasih telah menjadi kaka yang baik untuk saya.

No comments: