Saturday 8 November 2008

Pria Panas Rokok

Aku benci kau

diam.

Tetap duduk di lantai

dekat dinding.

Sambil terus

merokok dingin

Tak acuh

Tak menatapku.

Indehoi dengan asap

Yang senaknya terbang hilang.

Kenapa tak kau

sapa api

yang menjadikanmu

pria panas

rokok.



Menyaksikan Keindahan Tamansari





Mentari pagi musim kemarau tidak terlalu menyengat pagi itu. Menyapa malu-malu di ufuk timur serasa menghangatkan tubuhku. Pukul 08.30 WIB, kami tiba di Tamansari. Tamansari merupakan salah satu dari beberapa objek wisata di Yogyakarta yang membuatnya populer sebagai salah satu kota budaya. Beberapa objek wisata lainnya lainnya adalah Kraton, Museum Kereta Kencana, Benteng Vredeburg serta Monumen Jogja Kembali. Terletak sekitar 0,5 KM di sebelah selatan Kraton.

Tamansari juga memiliki keistimewaan, antara lain terletak pada gaya arsitektur bangunan itu sendiri yang hingga saat ini relatif masih utuh dan terawat. Hanya beberapa dinding dan potnya saja yang sedikit hitam terbakar matahari. Arsitektur bangunan ini adalah bangsa Portugis, sehingga sepintas seolah-olah bangunan ini memiliki seni arsitektur Eropa yang sangat kuat, di samping makna-makna simbolik Jawa yang tetap dipertahankan. Namun jika kita amati, makna unsur bangunan Jawa lebih dominan di sini.

Tamansari dibangun pada masa Sultan Hamengku Buwono I atau sekitar abad XVII M. Bangunan ini merupakan sebuah kompleks yang terdiri dari kolam pemandian, kanal air, ruangan-ruangan khusus dan sebuah kolam besar apabila kanal air terbuka. Bagian-bagian sakral Tamansari ditunjukkan dengan sebuah bangunan yang agak menyendiri. Ruangan ini terdiri dari sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat pertapaan dan tetirah Sultan beserta keluarganya. Sedangkan kolam pemandian merupakan bagian yang digunakan untuk bersenang-senang oleh Sultan dan keluarganya. Di samping komponen-komponen yang menunjukkan sebagai tempat peristirahatan, pesanggrahan-pesanggrahan tersebut juga memiliki komponen pertahanan.

Dengan ongkos masuk Rp 2500,00 per orang, kita bisa masuk dan melihat-lihat sepuasnya keindahan dan keelokan Tamansari. Dan pagi itu kami menjadi pengunjung pertama di tempat ini. Sehingga bisa benar-benar menikmati keindahan Tamansari dengan suasana tenang dan menyenangkan. Serta lebih menyatu dengan alam. Kicauan burung bersahut-sahutan, gemericik air kolam, dan desiran angin sepoi-sepoi menambah daya tarik tersendiri bagi pengunjung.

Saat ini, selain kami hanya ada seorang lelaki paruh baya berkaos putih dipadu dengan sarung kotak-kotak di dalam. Ia memegang sapu lidi bertangkai kayu. Sedang menyapu ranting dan daun-daun kering yang berserakan.
Sambil tersenyum, ia berkata kepadaku “Monggo…” Lalu tersenyum ramah.

“Injih…” Saya menjawab singkat dan terus berjalan memasuki pintu kedua.

Lalu menuruni 15 anak tangga yang kemudian membawa kami tepat di depan kolam pemandian Tamansari. Bagian ini terdiri dari 2 buah kolam yang masing-masing diitari pot berukuran cukup besar. Dalam pot tersebut ditanami jeruk kingkit, palem, melati, dan ceplok piring. Pot-pot tersebut tertata rapi di pinggiran kolam. Kolam di sebelah tengah diitari 17 pot, 5 lorong air serta 2 anak tangga berwarna biru di sisi timur dan barat. Kolam ini terisi penuh air. Tapi sayang dihiasi lumut-lumut di dasar kolam.

Sedang di kolam sebelah utara hanya dikelilingi 15 pot saja, 5 lorong air, dan 3 anak tangga yang juga berwarna biru. Tepat di sebelah utara kolam ini ada sebuah bangunan. Bangunan berdaun pintu kayu berwarna coklat tua ini rupanya berfungsi sebagai gudang yaitu tempat penyimpanan barang-barang bekas dan perkakas yang tidak digunakan lagi.

Setelah puas melihat-lihat, kami masuk ke sebuah bangunan bertingkat. Rupanya bangunan ini adalah benteng Candhra Kala, di bawahnya terdapat pancuran khas berbentuk patung naga yang menghubungkan dengan kolam berukuran besar di dalam benteng. Konon kolam ini khusus untuk mandi Sultan dan beberapa selir yang memenangkan sayembara untuk mandi dan bersenang-senang bersama Sultan. Kolam ini dikelilingi 18 pot, 4 lorong air di tengah kolam dan anak tangga berwarna biru di sisi utara.

Dibanding dengan 2 kolam di sebelah luar, kolam inilah yang paling istimewa. Selain berukuran besar juga memiliki ruangan khusus untuk ganti pakaian. Ada beberapa rak untuk meletakkan pakaian melekat pada dinding, fasilitas tempat duduk hingga lantai atas. Ruangan ini nampak klasik dengan desain interiornya. Yaitu terlihat pada pilihan warna dinding dan lantai serta material pada anak tangga dan daun pintunya. Dinding berwarna coklat muda, warna yang menjadi ciri khas Tamansari, lantai berwarna merah marun,anak tangga dan daun pintunya berbahan dasar kayu.


Sumur Gemuling

Dua kali mengunjungi Tamansari, tahun 1997 dan terakhir 7 Mei 2007. Tapi baru pada kesempatan kedua saya bisa masuk Sumur Gemuling. Setelah bosan di Tamanasri, kami berjalan menuju Sumur Gemuling. Terletak di sebelah utara kolam pemandian Tamansari. Melewati lorong-lorong yang panjangnya sekitar 15M dengan pintu berukuran kecil.

Dengan ongkos masuk sukarela (sesuai dengan kantong) per orang, bersama satu teman, saya menelusuri tiap-tiap loron g dan sudut terkecil Sumur Gemuling. Sumur Gemuling dilihat dari atas berbentuk bangunan melingkar seperti sebuah sumur yang di dalamnya terdapat ruangan-ruangan yang dahulu konon digunakan sebagai tempat sholat. Sementara itu lorong-lorong yang ada di kawasan ini berfungsi sebagai jalan rahasia yang menghubungkan Tamansari dengan Kraton Yogyakarta. Bahkan ada legenda yang menyebutkan bahwa lorong ini tembus ke pantai selatan dn merupakan jalan bagi Sultan Yogyakarta untuk bertemu dengan Nyai Roro Kidul yang konon menjadi istri bagi raja-raja Kasultanan Yogyakarta. Bagian ini merupakan bagian yang berfungsi sebagai tempat pertahanan atau perlindungan Sultan dan keluarganya apabila sewaktu-waktu ada serangan dari musuh.

Uniknya untuk masuk ke dalam Sumur Gemuling, kita harus melewati pasar burung Ngasem dan pemukiman penduduk. Yang mayoritas bekerja sebagai pembatik. Di tengah-tengah bangunan Sumur Gemuling ada 5 anak tangga, tempat yang indah untuk berpose. Satu di antara pengunjung kali itu adalah calon pengantin. Pasangan yang sama-sama berkkulit putih dan bermata sipit ini berkali-kali berganti gaya di tempat yang sama untuk foto pranikah. Sementara dua fotografer menggunakan lensa tele cukup panjang itu bergantian memotret.

Saya sebenarnya masih ingin menyaksikan keindahan Sumur Gemuling dan pose kedua calon pengantin itu. Tapi karena takut kehilangan kesempatan menikmati sunset di atas bangunan tua Pulau Cemeti, akhirnya kami segera meninggalkan Sumur Gemuling. Sekitar 2 menit sampailah kami di Pulau Cemeti, yang terletak persis di sebelah timur Sumur Gemuling.


Sunset” Di Pulau Cemeti

Dibangun sekiat abad XVIIM, Pulau Cemeti ini adalah bangunan tinggi yang dulu berfungsi sebagai tempat beristirahat sekaligus tempat pengintaian. Bangunan inilah satu-satunya yang akan kelihatan apabila kanal air terbuka dan air menggenangi kawasan Pulau Cemeti.

Masih bersama teman, saya ikut berjubel diantara puluhan pengunjung lainnya menyaksikan kebesaran Tuhan di atas bangunan tua yang dindingnya hitam terbakar matahari dan juga retak-retak. Dulu jika dilihat dari atas, bangunan ini menyerupai bunga teratai di tengah kolam yang sangat besar.

Untuk sampai ke atas, kita harus melewati beberapa anak tangga yanag kropos. Semen pelapisnya mengelupas hingga nampak batu-bata yang juga tak lagi utuh. Di bawah tangga ada papan yang menjelaskan bahwa dilarang keras untuk naik bangunan ini. Namun masih banyak saja pengunjung tempat ini. Bangunan tua yang tidak utuh ini tetap saja menjadi daya tarik bagi wisatawan.

sini kita tidak dipungut biaya sama sekali. Menyenangkan bukan? Dan uniknya lagi, Keleluasaan bagi para pengunjung sangat terasa di sini. Tak ada keharusan meninggalkan tempat ini dalam waktu yang ditentukan. Yah… pengunjung bisa bebas, sebebas-bebasnya berada di tempat ini.

Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pengunjung tiba. Para pengunjung yang membawa kamera harus beradu cepat memilih lokasi untuk mengambil foto terbaiknya. Dan ternyata keberuntungan masih berpihak pada kami karena mendapat yang strategis sekaligus aman dan nyaman untuk mengabadikan peristiwa spesial “sunset” di atas bangunan tua yang menjulang tinggi Pulau Cemeti.

Taburan cahaya “intan” di pemukiman penduduk pada kegelapan menjelang malam, ditemani hembusan angin sore dan kicauan burung-burung yang hendak pulang ke sarangya menyambut pengunjung Pulau Cemeti.

Seiring matahari tenggelam, lampu-lampu rumah penduduk hingga seluruh penjuru kota bergantian menyala. Lembayung senja berpadu dengan dengan cahaya lampu menjadi komposisi yang begitu indah. Saat ini pun dimanfaatkan oleh “fotografer” untuk mengambil gambar.