Friday 19 June 2009

Nek, Aku Ikut

23 Januari 2005, Jalan Pulau di bawah, Jakarta
Rumah bercat hijau yang nyentrik itu kini sepi sekali. Si empunya bernama Karle, wanita cantik berdarah Yogya-Perancis yang violis itu kehilangan putri yang sangat dicintainya. Nayana terjatuh dari tangga dan dia meninggal, benturan di kepalanya sangat keras.
Seorang anak telah pergi dan tak kan kembali, Karle dan Arya suaminya tak lagi tinggal di sana. Setelah ibu Karle dan putrinya meninggal mereka memutuskan kembali ke Yogyakarta.

2 Januari 2005, di rumah sakit
Di kamar VIP nomor 12, ruangan yang nyaman sebenarnya. Tapi Karle dan suaminya tetap saja gelisah. Tentu saja seindah dan senyaman apapun rumah sakit tak kan bisa membuat mereka berhenti merasa gelisah.
“Ma, aku ngantuk sekali ma.”
“Sayang tapi… dari tadi kamu tidur.” Bisik Karle sambil menahan tangis.
“Ma berdoalah, kuatkan hatimu.” Arya berbisik di telinga istrinya.
“Pa, aku jadi ingat mimpi semalam.” Kata Karle terbata-bata.
“Mamaku ngajak Naya pergi, apa itu firasat pa?”
“Ah…udah mama jadi ngelantur.” bentak Arya pada istrinya.
Suasana di kamar VIP, tempat Naya terbaring mendadak sunyi. Arya ke luar menemui dokter dan Karle terus berdzikir. Semilir angin tak ada di ruang ini, karena benar-benar tertutup bahkan sangat rapat.

30 Desember 2004, Rumah Karle
Tok…tok…tok. Tiba-tiba terdengar suara, ya…suara itu berasal dari pintu depan.
“Lhoh ma nenek pulang .” Nayana langsung lari dan membuka pintu.
“Sayang….” suara Karle terputus rengekan putrinya.
“Ma, nenek kok pergi lagi sih?” Naya kelihatan bingung.
Entahlah nenek Naya tiba-tiba menghilang, sebenarnya ia tak lagi ada di alam ini dan nenek memang tak ke sini. Naya begitu terpukul atas kematian neneknya. Memang semenjak ortunya sibuk dengan pekerjaan mereka, Naya jadi tambah lengket dengan sang nenek. Karle sering konser di luar kota bahkan ke luar negeri. Arya seorang pelukis, dia sering pameran ke luar negeri.

1 Januari 2005, rumah Karle
Nayana melihat neneknya membuka pintu kamar tamu. Gadis cilik itu berlari sekencang-kencangnya.
Nenek… aku kangen nenek.” Teriak Nayana
Gadis cilik itu tak menghiraukan sandal yang dipakainya, Ukurannya tiga kali lebih besar dari kakinya. Tentu saja, sandal itu milik mamanya.
“Aaaa…aaaaaaaa…..mama….!” Naya berteriak keras sekali.
Naya terjatuh dari tangga, oh Tuhan kepalanya berdarah.

3 Januari 2005, rumah sakit
“Bu, keadaan putri anda memburuk. Pendarahan di kepalanya begitu parah.”
“Mungkin kita tinggal menunggu waktu.” Ucap dokter berbadan tegap itu.
Karle sudah punya firasat. Ia langsung menangis, Arya memeluk erat istrinya.
“Ma serahkan pada Allah.” Arya menenangkan istrinya

4 Januari 2005, rumah duka
Rumah nyentrik itu dipenuhi para pelayat. Teman-teman seniman semua datang, para tetangga, mereka mengucapkan bela sungkawa.
Sara, seorang pianis asal Jerman memeluk Karle. Dia sahabat Karle sejak kecil.
“Putri kecilmu kini damai di surga, dia selalu melihatmu . Jadi kau jangan menangis nanti dia sedih.” Ucap Sara.
“Aku tahu Sara, putri kecilku sudah tenang di sana.”
“Putri kecilku akan selalu ku kenang dalam hatiku.”

2 September 2004
Anak dan ibu itu berbicara lewat telepon. Suara anak kecil yang nampak begitu kangen pada ibunya ditemani sang nenek.
“Ma, Naya sayang mama.”
“Ma, kapan pulang? Naya kangen deh ma.”
“Oiya ma Naya punya lagu bagus buat mama.”
Oh… lucunya. Dia bicara tanpa titik, mungkin terlalu rindu pada mamanya. Gadis cilik itu jarang sekali bersama orang tuanya. Mereka sibuk dengan pekerjaan. Dan parahnya, mereka berpikir bahwa karier adalah segala-galanya. Kelak putri mereka akan bangga dan bahagia dengan uang yang melimpah ruah.
Terdengar suara mamanya yang kelihatan bingung menjawab pertanyaan Naya.
“Sayang mama pulang minggu depan, Naya mau oleh-oleh apa?”
“Terus lagu apa yang mau Naya kasih ke mama?”
Karle akhirnya menjawab semua pertanyaan Naya, dengan nada keibuan.
“Besok aja kalau mama udah pulang, Naya main piano ya!”
“Oiya ma, papa lagi nglukis Naya. Cantik deh ma.”

29 Agustus 2004
Di depan rumah bercat hijau yang Nyentrik itu Naya dan sang nenek melepas kerpergian Karle.
“Maa….mama nggak boleh pergi! Aaaaaaaaaa…….”
“Sayang…. jangan nangis ya, sini sama nenek.” bujuk sang nenek.
“Mama mau nyari uang buat beliin Naya piano, katanya Naya pengen?’
“Sini peluk mama.” Lalu Karle menarik putrinya.
“Cium mama sayang!”
“Tolong jagain Naya ma”.
Mobil Mersedes Benz berwarna hitam itu semakin menjauh dari rumah Karle. Ia akan membawa Karle pergi jauh.

2 Oktober 2004
Nenek Naya meninggal dunia karena komplikasi. Gadis cilik itu rewel karena orang yang disayanginya tidur terus. Nenek Naya, ibu Karle terbujur kaku di dalam peti jenazah.
“Ma… nenek kenapa? Kok nggak bangun-bangun?” tanya Naya pada Karle.
“Terus kenapa tidur di sini ma?” Tanya Naya ingin tahu.
“Karena nenek mau ke surga sayang.” Jawab Karle pada putrinya.
“Surga itu apa pa?” tanya Naya ingin tahu.
“Tempat yang indah sayang, di sana nenek mau istirahat kan capek jagain Naya.” Arya menenangkan putrinya.
“Sini sayang duduk sama papa.” Lalu Arya mendudukan putrinya dengan pelan di kedua pahanya.
Gadis Kecil itu menurut saja pada perintah papanya.

4 Januari 2005, pukul 15.0 wib, rumah sakit
“Ma..pa.. nenek mau ngajak Naya ke surga.”
“Pa…” Karle melirik suaminya.
“Naya harus kuat, papa dan mama di sini jagain Naya.”

4 Januari 2005, pukul 16.00 wib
“Naya bangun sayang, bangun!” teriak Karle sambil mngguncang-guncangkan tubuh Naya.
“Inna lillahi wa inna illaihi rajiun.” Ucap sang papa.
Gadis kecil bermata hijau itu kini telah tiada. Tuhan telah memanggilnya. Ia meninggal pada usia 5 tahun.

5 Maret 2005, pukul 19.00 wib. Jln.Manaquin no. 18, Perwita Regency, Yogya
Di ruang tengah Karle dan Arya berbincang. Suara musik klasik menemani mereka malam itu.
“Pa selama ini aku salah. Aku tidak bisa menjadi ibu yang baik bagi anakku.”Karle mengingat masa lalunya.
“Sudahlah kita akan belajar dari masa lalu itu Karle, jangan kau sesali lagi.” Arya menasehati istrinya.
Bagi Karle Kematian putrinya disebabkan dia terlalu dekat dengan ibu Karle dan Naya tidak bisa berpisah dengan neneknya. Karle sebenarnya sangat mencintai putrinya. Tapi dia salah dalam mewujudkannya.
“Ya Allah seandainya aku tahu bahwa dia terlalu dekat dan ingin selalu ada di samping nenek.”
“Aku akan selalu mengadakan pendekatan Psikologis dengannya.”

2 April 2005, Jln. Manaquin
Siang ini cuaca tak mendung tak juga panas, tapi anginnya sepoi-sepoi membuat tubuhku tak berkeringat. Karle duduk di depan rumah sambil menunggu suaminya pulang dari Kanada.
Sejak kematian putrinya Karle berjanji akan menjadi ibu yang baik. Membuat sarapan untuk keluarga, menina bobokan anaknya, menyuapinya, medidiknya.

21 April 2005
Karle hamil dan di akan jadi ibu yang baik.
“Ma maafkan, selama ini Karle sering ngrepotin mama.”
“Ma Karle akan jadi ibu yang baik.”


Yogyakarta, 19 Mei 2005