Tuesday 10 November 2009

"November" Antara Jogja dan Kota Lama

November adalah bulan sangat bermakna dalam hidup saya.

Sebuah hidup yang masih terbilang baru di kota lama, dengan pekerjaan baru, lingkungan baru, orang-orang baru.
Pada bulan ini saya belajar soal hidup yang sesungguhnya.
Masih dalam proses beradaptasi hidup jauh dari orang tua dan keluarga, memanage uang sendiri. Di awal bulan rupanya ada pelajaran baru dari Tuhan. Kakek sakit.

Kakek bukan sekedar kakek saja bagi saya.
Kakek adalah--tentu saja kakek
Kakek adalah ayah
Kakek adalah sahabat
Kakek adalah belahan jiwa saya

2 November, orang tua mengabarkan kakek masuk rumah sakit. 2 November malam hingga 3 November siang, kakek kritis. SMS dan telpon datang bertubi-tubi mengabarkan kondisi kakek. Semua panik, sedih, gelisah, lelah dan saling menguatkan satu sama lain. Tak berhenti menuntun kakek berdzikir dan berdoa di sampingnya.

*Saya belum berada di rumah sakit saat kakek kritis. Saya masih di galeri, meski siang itu juga memutuskan pulang saya harus melalui beberapa jam perjalanan. Dan rasanya seperti disayat sembilu. Saya tidak bisa berada di sampingnya, menggenggam tangannya.Tapi saya juga tak terlalu berdaya. Ada pekerjaan yang menuntut tanggung jawab saya. Hingga tidak bisa seenaknya meninggalkan kantor.

Sesampainya di rumah sakit, saya merasa tidak punya tenaga untuk berdiri. Lemas sekali. Saya raih tangan kakek dan mengelus pelan dahinya. Saya menangis!!! Terakhir kali saya bertemu kakek sebelum pulang ke Semarang, kakek masih sehat meski sedikit susah untuk berjalan dan harus dipapah. Kakek habis terpeleset dan sempat mengeluh pinggangnya sakit. Waktu itu kami sempat mengobrol tentang beberapa hal dan kakek sempat bertanya tentang kegiatan saya di galeri.Tapi 3 November siang itu, kakek tertidur dan nampak lemas sekali. Banyak selang menempel di tubuhnya.Tante mendekati saya "Dari kemarin kakek panggil nama kamu."

Saya habis kata untuk melukiskan seperti apa rasanya. Seperti ada yang mendesir di dada saya.

Ya Allah beri pelangi untuk kakek saya.


3 November--menjelang malam

Kakek tetap tertidur pulas dan dibawa ke ruangan khusus.
Dokter meminta kami melakukan CT Scan.
Kakek tetap tak bergerak dalam ranjang yang didorong beberapa suster cukup cepat itu.
Saya membuntuti di belakangnya. Saya tidak mau kehilangan momentum sedikitpun tentang kakek.

Beberapa tante saya juga turut di situ. Beberapa menit kemudian dokter memanggil tante masuk untuk melihat hasilnya. Saya mengikutinya. Saya menyimak tiap kata yang diucapkan dokter tentang kondisi kakek.

Pengerutan masa otak atau istilah medisnya Atrofi. Ini adalah wajar mengingat kakek berusia lanjut.

Setelah dokter menjelaskan kondisi kakek, akhirnya diputuskan untuk memberi nutrisi otak. Namun dokter sekali lagi mengingatkan, bahwa apapun hasilnya ada di tangan Tuhan.

Saya makin tidak karuan.

3 November adalah masa-masa tidak mudah bagi kami. Kakek berjuang untuk tiap oksigen yang dia hirup. Dan bagi saya, ini juga ujian. Saya tahu dalam kondisi seperti ini, kakek tidak mungkin pulih seperti sebelum terpeleset. Kalaupun sembuh, kakek harus mendapat perawatan ekstra.
Tapi saya juga sadar, dengan kondisi saya saat ini--telah terikat kontrak pekerjaan. Hampir tidak mungkin selalu berada di sisinya. Sempat terlintas, saya ingin resigned. Saya ingin selalu berada di samping kakek!
Dan malam ini saya tiba-tiba benci dengan beberapa orang di sekeliling saya. Saya muak dengan dunia yang ada di depan saya.
Saya merasa rapuh hampir roboh tapi tidak melihat orang terdekat yang saya percaya dan saya sayangi dan katanya sangat sayang pada saya mengulurkan tangan untuk saya. Kenapa justru orang lain yang mengulurkan tangan lalu menggandeng saya sehingga saya jatuh tidak terhuyung-huyung.

No comments: